Sejak awal abad ke-20, nama ‘Simalungun’ digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah pemerintahan bawahan dari wilayah Keresidenan Sumatera Timur, yakni yang disebut Simeloengoen en Karolanden. Yang dimaksud dengan Simeloengoen (=Simalungun) adalah Kerajaan Siantar, Kerajaan Tanoh Jawa, Kerajaan Panei, Kerajaan Dolog Silou, Kerajaan Raya, Kerajaan Purba dan Kerajaan Silimakuta, yang masing-masing menandatangani semacam perjanjian (dikenal sebagai Korte Verklaring, ‘Perjanjian Pendek’) dengan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1904 (dan diperbaharui tahun 1907).
Hampir bersamaan dengan pembentukan wilayah pemerintahan Simeloengoen en Karolanden tadi, nama ‘Simalungun’ digunakan sebagai nama suku bagi penduduk yang menghuni 7 Kerajaan-Kerajaan di Simeloengoenlanden tadi. Sebagai nama suku, sebutan ‘Simalungun’ digunakan untuk keseluruhan penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, walaupun sebutan ‘Simalungun’ jarang digunakan penduduk (dan pemerintahan) masing-masing Kerajaan, karena mereka tetap membedakan penduduknya dengan sebutan dalam bahasa Simalungun, yakni dengan menggunakan kata sin atau par, misalnya sin Raya, sini Panei, sini Purba, par Siantar.
Sejak masa itu pulalah nama Simalungun sering digunakan sebagai nama suku. 2) Tetapi tidak hanya untuk penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, tetapi semua penduduk Sumatera Utara yang mempunyai budaya yang sama dengan budaya penduduk yang ada di 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, yang tersebar di Deli Serdang (dan Bedagai), di Asahan, di Dairi, di Karo.
Bersamaan dengan digunakannya sebutan ‘Simalungun’ sebagai nama suku, sebutan yang digunakan sebelumnya, yakni ‘Batak Timur’, atau ‘Timoerlanden’, semakin jarang digunakan.
Satu suku bangsa dibedakan dari suku bangsa lainnya karena adanya perbedaan budaya. Saya sering mengatakan kepada sesama Simalungun, budaya do palegankon Simalungun humbani suku bangsa na legan. Simalungun akan tetap ada dan eksis (walaupun populasinya tidak banyak) jika halak Simalungun mempertahankan budaya yang membedakannya dari suku bangsa lain. Sebaliknya, jika tidak mau lagi mempertahankan budaya yang membedakannya dengan suku lain, dan lebih suka ‘menyesuaikan’ diri dengan budaya suku lain, halak Simalungun akan menghilang dari muka bumi ini.
Dulu, penduduk halak Simalungun yang menundukkan diri ke budaya suku Melayu, diberi julukan domma salih gabe malayu. Baik karena memeluk agama Islam, atau karena pindah ke wilayah yang penduduknya halak Melayu, atau karena manundalhon arihan (yakni yang bermakna membelot dari Kerajaan yang ada di sukunya, untuk kemudian menundukkan diri kepada penguasa wilayah di luar Simalungun). Ada juga yang salih jadi Karo, biasanya karena tinggal di wilayah yang berpenduduk Karo.
Sebaliknya, halak Toba (dan atau par Samosir) banyak yang salih jadi Simalungun. Konon, menurut TBA Purba Tambak (almarhum), sejak awal berdirinya Harajaon Dolog Silou, 3) sudah ada marga Simarmata dan marga Sipayung di Dolog Silou, dan tidak ada marga Sinaga. Mereka itu sudah salih menjadi Simalungun. Proses salih terjadi karena seseorang meninggalkan budaya asalnya dan menjadikan budaya setempat menjadi budayanya.
Jadi, dalam pengertian budaya do palegankon suku bangsa, Simalungun akan tetap eksis sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia (dan dunia) sepanjang masih ada yang memelihara budayanya, yakni yang disebut budaya Simalungun, sepanjang masih ada yang mau menjadi halak Simalungun (dalam arti berbudaya Simalungun).
Dengan demikian mudah-mudahan semakin jelas apa yang kita maksud dengan ‘Simalungun’ dalam konteks ‘Sejarah Simalungun’. Ternyata yang kita mau diskusikan bukan ‘Sejarah Kabupaten Simalungun’, bukan asal usul (tarombo) halak Simalungun, tetapi sejarah suku bangsa yang kini masih eksis sebagai salah satu suku bangsa yang mempunyai budaya yang berbeda dengan suku bangsa lainnya (walaupun ada persamaan), yang sejak awal abad ke-20 dinamakan suku Simalungun, dan budayanya disebut budaya Simalungun.
Seperti sudah dikemukan tadi, sejak awal abad ke-20 sebutan Simalungun semakin sering digunakan kepada satu suku bangsa yang tinggal di 7 Kerajaan di wilayah Simeloengoenlanden dan wilayah-wilayah sekitarnya (yang kemudian dimasukkan menjadi wilayah pemerintahan yang bertetangga dengan 7 Kerjaan tadi (yang kini menjadi Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Kota Tebing Tingi, Kabupaten Asahan, Kabupaten Tobasa, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo). Sebelumnya, lebih sering digunakan nama kewarga-negaraan penduduk, seperti sini Panei (untuk rakyat Kerajaan Panei), par Sordang (sebutan untuk rakyat Kesultanan Serdang). Sementara ‘orang luar’ yang datang berkunjung atau meleliti ke wilayah yang dihuni halak Simalungun, lebih suka menggunakan sebutan Batak Timur, mungkin karena berdiam di wilayah sebelah Timur rumpun-suku Batak lainnya.
Di kalangan penulis halak Simalungun, masih banyak yang berpendapat bahwa sebelum Belanda melebarkan sayap penjajahannya ke wilayah berpenduduk Simalungun (dan menemukan fakta adanya 7 Kerajaan), terdapat 4 Kerajaan di Simalungun, yang disebut Raja Maroppat, yakni Silou, Panei, Siantar dan Tanoh Jawa. Bahkan ada yang yakin bahwa sebutan Raja Maroppat adalah konsep Simalungun. Sudah pernah saya kemukakan bahwa sebutan Raja Maroppat berasal dari konsep tuha peuet-nya Kesultanan Aceh saat meluaskan pengaruhnya ke kawasan Sumatera Timur. Namun pendapat tadi tidak berubah. 4)
Ada pula yang berpendapat, sebelum ada Raja Maroppat, hanya ada satu Kerajaan, yakni Kerajaan Silou.
Tetapi dalam satu hal. sepertinya semuanya sepakat, yakni tadinya hanya satu Kerajaan, yakni Kerajaan Nagur.
Jika kelak dapat diterima sebagai kebenaran sejarah bahwa rakyat Nagurlah yang mewariskan kebudayaan yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan kebudayaan Simalungun, maka hal itu berarti kebudayaan Simalungun sudah teruji di wilayah ini selama lebih kurang 14 abad, karena konon Nagur sudah tercantum dalam naskah Cina dari abad ke-6, masih eksis dan dicatat oleh Marco Polo (abad ke-13) dengan nama ‘Nagore’ atau ‘Nakur’, masih eksis pada saat Pinto mencatat (abad ke-16) bahwa Nagur meminta bantuan Portugis yang berkedudukan di Malaka karena mendapat serangan dari Aceh, dan bahwa Encyclopedi Ned. Indie mencatat Nagur dapat bertahan dari invasi Johor dan Siak. Ketika pada penghujung abad ke-19 Belanda menginjakkan kakinya ke wilayah yang dihuni penduduk pewaris kebudayaan rakyat Nagur tadi, masih ditemuinya kebudayaan yang sama di 7 Kerajaan yang di kemudian hari disebutnya sebagai kawasan Simeloengoen, bahkan sama dengan kebudayaan sebagian rakyat yang tersebar di sekeliling Simeloengoen.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar